MOMENTUM hari kemerdekaan yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia seringkali menyisakan harapan-harapan indah sekaligus perenungan mendalam tentang jejak Indonesia dimasa depan. Menko Perekonomian Hatta Rajasa misalnya menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata di atas enam persen pertahun telah menempatkan negara ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia (economy global power). Menurut Hatta, keberhasilan Indonesia tak lepas dari modal pembangunan yang dimiliki sangat lengkap. Mulai dari sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang berkualitas, iklim demokrasi yang stabil, dan letak geografis yang strategis. (Republika,16/8/2013)
Pernyataan Hatta Rajasa menguatkan ramalan dari Pricewaterhouse Cooper (PwC) yang menyebut Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedelepan dunia pada 2050. Ini akan mengambil alih posisi Inggris dan Prancis yang nantinya terdepak dari sepuluh besar. Predikisi PwC ini diinspirasi oleh sejumlah faktor kunci diantaranya, pertumbuhan populasi usia kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari taraf pendidikan, pertumbuhan cadangan modal, dan faktor total dari pertumbuhan produktivitas yang didorong oleh kemajuan teknologi.
Pertamina.Com |
Pernyataan dan prediksi di atas tampaknya melegakan kita semua. Namun kenyataan yang cukup ironis justru terjadi di negeri ini. Pengelolaan sumber daya alam yang amat strategis seperti minyak dan gas, 74 persen kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas dikuasai perusahaan asing. Sebagian besar produk minyak dari perusahaan asing itu dijual ke pasar internasional. Indonesia sebagai pemilik sumber alamnya, tidak memiliki kedaulatan mengatur penjualan meski untuk kebutuhan nasional.
Pada 2006 silam terjadi perdebatan sengit tentang siapa yang berhak mengelola Blok Cepu yang menyimpan cadangan minyak sangat banyak itu. Akhirnya pemerintah menjatuhkan pilihannya pada Exxon, perusahaan minyak asal Amerika Serikat. Padahal Indonesia memiliki Pertamina, perusahaan minyak milik negara. Kini ketika Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam yang menyimpan cadangan sekitar ratusan trilyun cubic feet dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (jepang) berakhir pada Maret 2017 nanti, banyak pernyataan pejabat di lingkungan Kementerian ESDM yang seolah menutup peluang Pertamina untuk diberi kepercayaan mengelola sumber Migas itu, alasannya justru menggelikan yakni tak memiliki cukup modal, sumber daya manusia yang masih rendah, dan teknologi yang sudah usang.
Padahal bila saja Pertamina diberi kepercayaan maka harga diri dan martabat bangsa bisa diselamatkan, disamping tentu saja pemerintah akan lebih mudah menjaga security of supply migas nasional. Kita harusnya banyak belajar kepada Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia. Kini Petronas berkibar menjadi perusahaan minyak kelas dunia, karena di Malaysia seluruh KKS yang masa kontraknya habis diberikan ke Petronas. Dan akhirnya Petronas berkembang mengungguli Pertamina, padahal dulunya Pertamina adalah gurunya Petronas.
Kini kita dikejutkan dengan tertangkap tangannya mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini pada selasa (13/8) malam. Ia ditangkap karena diduga menerima uang suap senilai 700 dolar AS dari perusahaan minyak Amerika Serikat Kernel Oil. Memang nampaknya SKK Migas bentukan pemerintah ini amat terlalu licin buat siapapun. Berita ini tentu menggemparkan karena pelakunya adalah seorang Profesor akademisi asal Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia dikenal seorang yang jujur, dosen senior yang moncer kariernya. Bahkan pada april 2013 ia menjabat Komisaris Bank Mandiri yang perolehan gajinya perbulan 82 juta rupiah. Disalah satu cabang Bank Mandiri, KPK menyita uang 320.100 dolar AS yang tersimpan dalam safe defosit box. Uang ini diduga ikut terkait pemberian suap dari tersangka Simon Tanjaya dari Kornel Oil.
Semakin terkuak borok-borok bangsa ini, pelaku suap dan korupsi ternyata bukan monopoli para birokrat, politisi atau jaksa semata. Tindakan korup dan memperkaya diri hampir menjadi bagian gaya hidup para pejabat kita. Tanpa disadari sesungguhnya asing telah mengobok-obok kedaulatan negeri ini dengan berbagai cara, termasuk penguasaan eksploitasi ladang minyak dan gas kita. Rudi Rubiandini boleh jadi di kampusnya menjadi dosen yang sangat disegani dan dihormati oleh para kolega dan mahasiswanya. Kejadian ini jelas telah menampar ITB sekaligus meneguhkan bahwa siapapun yang bermain-main dengan urusan minyak dan gas bila tidak berhati-hati akan tergelincir didalamnya.
Langkah mengawal kejayaan Indonesia kian berat, kuku-kuku asing telah mencengkram kuat di seluruh lini kehidupan, baik budaya, politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan pertahanan keamanan. Contoh yang sederhana adalah barang-barang elektronika yang ada di rumah kita mungkin sebagian besar produk asing. Cara anak-anak dan remaja dalam berbusana dan tata pergaulan lebih senanag meniru apa yang berasal dari barat. Narkoba dan minuman keras perlahan tapi pasti telah melumpuhkan masa depan remaja kita, Perhatikan anak dan remaja kita, kemanapun bepergian hampir tak pernah ketinggalan menggenggam handphone. Dan barang-barang itu semuanya hasil impor dari luar. Bangsa kita memang baru pandai mengkonsumsi, menjadi pengguna belum menjadi pencipta apalagi pandai memproduksi.
Indonesia katanya memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun kenyataannya garam, sapi, kacang kedelai, bawang putih, buah-buahan, beras, obat-obatan dan sejumlah kebutuhan perut lainnya di impor dari negara asing. Proses impor seringkali berimplikasi adanya uang fee, prosentase, bagi-bagi keuntungan. Bangsa kita seolah tak mau bersusah payah, segalanya ingin serba instan dan untung besar walaupun harus mengorbankan etika moral dan menjatuhkan harga diri bangsa.
Mungkinkah kondisi seperti ini buah dari keberhasilan siasat bangsa asing yang telah mengobok-obok dan menghancurkan karakter bangsa hingga pada akhirnya negara ini berada diambang kehancuran. Padahal bila dihitung, pendidikan kita telah berproses lama, dan Indonesia telah 68 tahun merdeka. Benar kata Theodore Roosevelt, mendidik anak agar pandai saja tanpa mendidik moralnya bagai memproduksi ancaman bagi masyarakat. Karena itu, tugas utama pendidikan kini adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi melalui pendidikan karakter.
Oleh karena itu karakter yang sudah menggerogoti rasa keindonesiaan kita saat ini, misalnya penakut, tidak bebas bersuara, kagum pada bangsa asing,, mudah diprovokasi, terpesona akan kehidupan konsumtif, senang melanggar aturan, mudah disuap, terbuai korup adalah mental dan karakter bangsa Indonesia saat ini yang menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya.
0 Comments